Selasa, 10 Juni 2008

tips dan trik penggunaan blog untuk membantu tugas-tugas anda

Bandung, Kompas - Pemerintah Kota Bandung seharusnya terlebih dahulu memikirkan upaya menghilangkan bau dan pencemaran udara, yang dihasilkan oleh sampah, sebelum bicara tentang pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTS.

Dengan sistem pengangkutan menggunakan truk pengangkut sampah, seperti yang dimiliki Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung, bau dan pencemaran udara sulit diatasi.

Demikian dikatakan pakar persampahan dari ITB, Enri Damanhuri, Rabu (19/12) di Bandung. Enri mengatakan, saat kuliah di Perancis, kampusnya bersebelahan dengan insinerator penghasil panas serupa PLTS, tetapi tidak pernah ada keluhan bau ataupun asap.

"Kondisi ini jelas jauh berbeda dengan di Bandung, di mana sarana transportasi sampah masih jauh dari sempurna. Bau pasti ada selama pengangkutannya," ujarnya.

Hal itu diakui oleh Direktur Utama PD Kebersihan Kota Bandung Awan Gumelar. Ia mengatakan, truk pengangkut sampah yang dimiliki PD Kebersihan Kota Bandung belum sempurna.

Sekitar 30 persen dari 97 truk yang ada usianya lebih dari 10 tahun dan secara bergantian masuk bengkel. "Maklum, banyak yang sudah tua," kata Awan.

Meski demikian, Awan berjanji tidak akan ada bau sampah saat diangkut. PD Kebersihan Kota Bandung akan menutup sampah yang diangkut dengan jaring dan plastik terpal. "Idealnya menggunakan truk tertutup atau covector seperti di China, tetapi kami belum mampu. Harganya mahal," kata Awan.

Sama tuanya

Enri menjelaskan, insinerator merupakan teknologi yang sama tuanya dengan sanitary landfill. Insinerator dapat membakar habis karbon organik serta menyisakan abu dan debu. Insinerator sudah ditinggalkan negara maju dan kini beralih pada pemanfaatan energi sehingga dikenal sebagai waste to energy (WTE).

"Konsep ini sudah diterapkan lebih dari 30 tahun lalu jadi bukan barang baru. Teknologi ini yang tampaknya akan digunakan di Kota Bandung," kata Enri.

Enri memaparkan, teknologi WTE, seperti halnya PLTS, memiliki tiga komponen utama, yakni pembakar sampah (boiler), penangkap energi panas yang menggerakkan turbin listrik, dan pengendali pencemaran udara.

Menurut Enri, 10 tahun lalu sudah ditemukan teknologi yang lebih canggih daripada PLTS, yakni refuse derived fuel (RFD). "Konsepnya, membuat briket sampah sebelum diumpankan pada insinerator," kata Enri.

Dalam sebuah diskusi, Ketua Tim Studi Kelayakan PLTS dari ITB Ari Darmawan Psek mengatakan, semua potensi pencemaran PLTS telah direduksi sehingga aman bagi warga. Gas yang dihasilkan PLTS dibuang melalui cerobong dengan standar tertentu sehingga dioksin yang dihasilkan di bawah ambang batas.

Mengacu standar Amerika, kata Ari, dioksin PLTS tidak boleh lebih dari 1,56 ng/m3, standar Eropa 0,1 ng/m3, dan standar China 1 ng/m3. Dioksin PLTS Kota, yaitu 0,1 ng/m3-1 ng/m3. "Selama 20 tahun hanya mengahasilkan 17 gram dioksin. Jadi aman," kata Ari.

Nilai ini, kata Ari, lebih kecil dari emisi pembakaran sampah yang dilakukan penduduk di belakang rumahnya, yang mencapai 628 gram per tahun

Tidak ada komentar: